Jumat, 21 November 2008

Belajar Kehidupan Dari Seorang Petani

Beberapa bulan yang lalu, saya dan seorang teman saya berangkat ke daerah Pundong-Bantul, karena kami dipercaya untuk menjalankan survey dari E-GOV Karsa Mandiri terhadap kepuasan masyarakat terhadap proyek pasca gempa. seingat saya, hari itu adalah hari ketiga kami menjalankan survey. Jika pada hari-hari sebelumnya, kami menyebar angket ke beberapa sekolah, dan puskesmas di daerah yang sama, hari itu tujuan kami adalah menyerahkan angket ke kelurahan setempat, untuk kemudian oleh kelurahan, angket tersebut diteruskan kepada para petani untuk mengetahui seberapa besar proyek irigasi pasca gempa bermanfaat untuk mereka ataupun sebaliknya. Setelah bertemu dengan salah satu pegawai kelurahan, akhirnya kami diminta untuk langsung menemui ketua kelompok tani desa tersebut, lengkap dengan penjelasan arah yang harus kami tempuh untuk menemui sang ketua kelompok tani. Sampailah kami di rumah sang ketua kelompok tani, di halaman depan rumah berdinding anyaman bambu itu, sang empunya rumah berjualan bensin eceran. Orang pertama yang berhasil kami temui adalah istri sang ketua kelompok tani, Ibu Toyo. Ya, sang ketua kelompok tani bernama Pak Toyo. Namun, saat itu kami tidak berhasil menemui beliau. menurut istrinya, Pak Toyo sedang membeli bensin, karena stok dagangan mereka menipis. Akhirnya kami memutuskan untuk kembali lagi jam 1 siang, sesuai waktu yang diperkirakan oleh sang istri bahwa suaminya itu akan kembali sekitar pukul satu. Tapi, hingga waktu yang dijanjikan orang yang kami cari tak kunjung tiba. Pada akhirnya kami memutuskan untuk kembali esok hari. Keesokan harinya, kami mendapati situasi yang sama, kami memutuskan untuk kembali lagi besok. Karena bagaimanapun tugas ini adalah amanah yang telah diberikan kepada kami.

Berarti, hari itu adalah hari ketiga kami berusaha untuk menemui Pak Toyo, keadaan yang sama terulang lagi, bahwa kami harus lagi-lagi menunggu. Namun kali ini kesalahan terletak pada kami, hari sebelumnya, Pak Toyo berpesan kepada istrinya jika ingin bertemu dengannya kami diminta datang jam 9 pagi. Tapi karena saat itu saya kuliah dan selesai jam 9 pagi, terpaksanya kami baru berangkat jam 9 pagi dari kampus. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya kami bertemu dengan sang ketua kelompok tani. Dibantu teman saya, beliau menurunkan bensin yang baru saja dibeli dari motor tahun 70an-nya. Tak lama kemudian, kami dipersilahkan masuk ke ruang tamu yang beralaskan karpet hijau, dinding yang belum diplester sehingga yang tampak hanya batu bata merah yang menurut saya tiap-tiap ukurannya tampak asimetris. Belakangan saya tahu bahwa batu-bata tersebut adalah buatan tangan Pak Toyo dan Istrinya! Dalam hati saya heran. Tapi lama kelamaan, keheranan saya menjadi sebuah kekaguman, inilah yang sebenarnya menjadi inti dari cerita saya. Pada awalnya saya tidak tahu, bahwa Pak Toyo adalah seorang buta huruf, kalau teman saya tidak membisikkan kata: “Pak Toyo ngga bisa baca tulis, jadi kamu yang tulis tanggapannya tentang proyek pasca gempa dalam bentuk deskriptif”. Well okay, I’ll do it. Dalam perjalanannya, Beliau selalu bertanya bagaimana mengeja nama-nama temannya sesama petani kepada sang istri, karena kami memang meminta data para petani yang ada lengkap dengan umur dan alamat rumah, and you know what? Beliau hafal semuanya, walaupun beliau tidak dapat menuliskannya! Saya keheranan. Saya yakin, masih ada pemimpin yang jika ditanyakan hal yang sama seperti yang kami tanyakan terhadap Pak Toyo, belum tentu mereka dapat menyebutkan 50 orang nama, umur dan alamat bawahannya. Saya percaya bahwa Pak Toyo adalah Pemimpin yang dicintai, karena ada sebuah pernyataan: anda bisa mencintai orang lain tanpa memimpin mereka, tetapi anda tidak bisa memimpin orang lain tanpa mencintai mereka. Pernyataan itu melukiskan tentang seorang pemimpin yang harus mampu berhubungan baik dengan orang lain. Bukankah Pak Toyo begitu? Setidaknya bagi saya, begitulah beliau. Beliau juga menjadi pemimpin yang dipercaya, karena beliau telah menjadi ketua kelompok tani selama 2 periode, tanpa menguasai ilmu baca dan tulis. Beliau berkata kepada kami, hanya satu modalnya, yaitu kejujuran. Saya semakin kagum dengannya. Karena menurut saya kejujuran adalah integritas, integritas tidak pernah berbohong, integritas adalah kesesuaian antara kata dan perbuatan yang menghasilkan kepercayaan. Saya bertanya-tanya dari mana beliau mendapatkan semua ilmu itu? sedangkan beliau hanya mampu berekolah hingga bangku kelas 4 SD! Saya menoleh kekiri, tertarik dengan foto 2 orang perempuan bertoga yang saya yakin adalah anaknya, setelah saya tanyakan, ternyata benar. Beliau kemudian bercerita, itulah mbak, cita-cita saya, sebagai wujud kecintaan saya terhadap yang maha kuasa. Dalam hati saya berteriak: what, kalimat bijak apalagi ini?!. Beliau melanjutkan, mbak tahu sendiri kan, saya adalah seorang petani, buta huruf dan tidak mampu menyelesaikan pendidikan dasar. Karena itulah, satu-satunya keinginan saya adalah saya harus mampu menyekolahkan anak saya sampai ke perguruan tinggi. Sebagai wujud keimanan saya, pengabdian saya kepada yang punya hidup, karena saya sadar, saya tidak punya harta yang cukup untuk diberikan untuk mereka yang membutuhkan, yang bisa menjadi pahala bagi saya, namun saya punya keyakinan bahwa ketika saya berangkat keluar rumah dengan tujuan menghidupi keluarga saya, saya telah berjuang di jalan-Nya. Bulu kuduk saya berdiri, ingin rasanya saya menangis dan memeluk sang Petani, tapi saya takut kalo-kalo saya disangka gila! Yang membuat saya tambah kagum adalah, dengan segala kekurangannya, Pak Toyo adalah seseorang yang visioner dimata saya. Beliau telah merencanakan semua keperluan anaknya, khususnya materi. Ketika sang anak mulai masuk TK, Pak Toyo sudah memikirkan akan dari mana uang yang akan digunakan anak-anaknya kelak ketika mereka masuk SD. Akhirnya beliau mengambil suatu keputusan, yaitu dengan cara meminjam uang di bank tepat saat anak-anak mereka masih di bangku TK, untuk kemudian ditabungkan kembali ke Bank, dan diambil saat sang anak masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dan begitulah seterusnya, terjadi keseluruh anak-anaknya. Hutangnya di Bank, dicicil dengan uang hasilnya membuat batu-bata, seperti yang saya ceritakan diatas. Jangan bayangkan batu-bata yang pak Toyo hasilkan sama seperti buatan pengrajin batu-bata yang lain, beliau hanya mampu membuat palin banyak 10 bata bata dalam sehari, karena beliau membuatnya diwaktu senggang saat beliau pulang dari sawah, hasilnya untuk dijual dan untuk membangun rumahnya sendiri, dan ditambah dari hasilnya bertani dan beternak.

Saya salut kepada Pak Toyo, entah sadar atau tidak Pak Toyo telah memiliki vison principle, sebuah visi yang dengan mati-matian sedang saya wujudkan. Pak Toyo telah mampu memiliki tujuan jangka pendek dan jangka panjang, dan beliau juga mampu menentukan prioritasnya dalam hidup yaitu sibuk mencapai tujuan, bukan sibuk mengisi waktu. Karena beliau telah bekerja dengan target yang jelas, hingga pada akhirnya beliau mampu melahirkan 2 orang guru, pendidik bangsa, yaitu anak-anaknya. Beliau di mata saya, telah mampu memenuhi 3 unsur amal yang mampu meneranginya di hari akhir nanti, yaitu anak yang saleh yang selalu mendoakan kedua orang tuanya yang artinya adalah sumber daya manusia yang berkualitas, amal jariah, dan ilmu yang berguna, yang mungkin secara tidak sadar telah beliau tularkan kepada saya, dan saya sedang berusaha menularkannya kembali buat kamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar